Menghadaplah kepada Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan, tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu (Muhammad) itu.
(QS. Saba' [34]:46)
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah: “Katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang kafir yang menyangka kamu gila: Saya hanya memerintah kalian satu saja, menghadaplah kepada Allah dengan tulus, tanpa ada dendam dan kebencian, lalu tanyakanlah oleh sebagian kalian kepada yang lainnya, apakah Muhammad benar gila? Jawablah hal itu dengan tulus dan jujur. Hendaklah masing-masing melihat jujur kepada dirinya sendiri dalam hal Muhammad ini. Jika masih membingungkan, tanyalah orang lain, dan pikirkanlah. Jawabannya pasti: Tidakada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu (Muhammad) itu.” Ibn Katsir membantah keras pendapat yang menyatakan “berdiri” pada ayat di atas adalah shalat dengan ikhlas, karena sangat jauh dari makna tekstualnya. Kalaupun ada hadits yang mengaitkan ayat ini dengan shalat—dalam hadits tentang lima keistimewaan Nabi saw dari para Nabi lainnya—hadits riwayat Ibn Abi Hatim itu menurutnya dla’if.
Dalam
istilah keilmuan hari ini, cara berpikir seperti yang diterangkan Ibn
Katsir di atas adalah berpikir dengan objektif. Artinya betul-betul
fokus pada objek (yang dipikirkan) dan melepaskan diri dari asumsi sang
subjek (pemikir). Betul-betul tulus meneliti objek apa adanya, tanpa
terpengaruh oleh praduga, prasangka, apalagi kebencian sang subjek.
Jika dipikirkan secara objektif mustahil ada yang sampai berani menghina Nabi Muhammad saw, meski itu orang kafir sekalipun. Akhlaq beliau sungguh agung, tidak pernah berdusta—sampai digelari al-amin/orang terpercaya oleh penduduk satu kotanya, tidak banyak mengumbar sumpah, tidak pernah mencela, menyebar fitnah, enggan berbuat baik, tidak melampaui batas apalagi banyak dosa, tidak kaku kasar apalagi sampai terkenal kejahatannya, dan tidak sombong (QS. al-Qalam [68] : 1-15). Tidak pernah menghardik anak yatim dan selalu bersemangat membantu faqir miskin (QS. al-Ma’un [107] : 2-3). Mustahil ada yang tidak mengenal keunggulan pribadinya, karena Muhammad saw tinggal cukup lama bersama orang-orang yang kemudian menjadi musuhnya tersebut (QS. Yunus [10] : 16).
Jika dipikirkan secara objektif mustahil ada yang sampai berani menghina Nabi Muhammad saw, meski itu orang kafir sekalipun. Akhlaq beliau sungguh agung, tidak pernah berdusta—sampai digelari al-amin/orang terpercaya oleh penduduk satu kotanya, tidak banyak mengumbar sumpah, tidak pernah mencela, menyebar fitnah, enggan berbuat baik, tidak melampaui batas apalagi banyak dosa, tidak kaku kasar apalagi sampai terkenal kejahatannya, dan tidak sombong (QS. al-Qalam [68] : 1-15). Tidak pernah menghardik anak yatim dan selalu bersemangat membantu faqir miskin (QS. al-Ma’un [107] : 2-3). Mustahil ada yang tidak mengenal keunggulan pribadinya, karena Muhammad saw tinggal cukup lama bersama orang-orang yang kemudian menjadi musuhnya tersebut (QS. Yunus [10] : 16).
Meskipun istrinya banyak, tetapi sepanjang
malamnya disibukkan dengan bersujud sambil meneteskan air mata.
Meskipun seorang kepala negara, tetapi hidupnya sangat sederhana dan
sama sekali tidak bernafsu menabung harta. Meskipun mengajarkan perang,
tetapi selalu mengajarkan pula untuk mendahulukan perdamaian. Maka
orang yang berlainan agama dengannya pun merasa tenteram hidup di
daerah kekuasaannya. Tidak ada paksaan untuk berpindah agama, apalagi
teror untuk meninggalkan kota. Peradaban Madinah yang dibangunnya
betul-betul didasarkan pada rahmat untuk semesta alam. Para peneliti Kristen Barat yang objektif pun sudah banyak yang mengakuinya.
No comments:
Post a Comment